29 Okt 2015

Cerpen - Valentine Tahun Lalu

Cerpen - Valentine Tahun Lalu

Sudah hampir setahun sejak terakhir kali aku bertemu dengan Kak Yudha anggota OSIS idolaku. Ketika MOS dulu ia sangat baik dan juga perhatian padaku. Aku bahkan menganggapnya sebagai kakakku sendiri. Dan ketika ulang tahunku yang 13 tahun yang bertepatan dengan hari Valentine, ia memberikanku sebuah buku diary dimana aku bisa mencurahkan isi hatiku ketika aku tak dapat lagi menemui Kak Yudha.Tapi tak kusangka itu pertemuan terakhir kami. Kak Yudha mengalami kecelakaan setelah mengantarku pulang. Saat itu aku merasa sangat terpukul mendengar kabar kepergiannya. Aku sempat berpikir, kenapa Tuhan menjemput orang sebaik Kak Yudha dengan begitu cepat.
Waktu pun kian berganti, kini aku mencoba merelakan kepergian Kak Yudha. Meski kadang aku merindukan sosoknya. Hanya dia yang mampu mengerti aku. Hingga akhirnya aku mulai bersahabat dengan Nami. Dia anak yang pintar dan juga baik. Dia kini duduk sebangku denganku sejak semester lalu.

YYY

Pagi ini, kelasku kedatangan murid baru. Ia bernama Wira. Dia berbadan tinggi dengan kulit sawo matang, dan rambut hitam yang lurus, tak lupa dengan tahi lalat di telinga kanannya yang hampir mirip dengan Kak Yudha. Aku bahkan dibuatnya terkejut karena fisik yang hampir sama. Tapi aku tak menganggap itu hal serius. Dia kini duduk di belakangku.

Bel istirahat berbunyi, aku dan Nami  pergi ke perpustakaan. Saat sedang mencari buku Wira menyapaku, “Hay.. Nyari buku apa?”.
“Ini lagi nyari novel.” Jawabku sambil  melihat-lihat kumpulan buku diperpustakaan.
“Ohh novel ya. Hmmm.  Ini nih yang bagus.” katanya sambil menjulurkan sebuah buku ditangannya. Aku terkejut. Ternyata itu adalah buku yang sama yang pernah dipinjamkan Kak Yudha kepadaku. Aku mulai berpikir bahwa ini hal yang wajar. Semua orang pasti suka novel itu.
“Itu aku udah pernah baca.” Kataku sambil mencari buku yang lain. Saat sedang mencari bel tanda masuk kelas berbunyi. Jadi pencarian buku aku akhiri dan segera menuju ke kelas.

Ketika bel pulang berbunyi aku dan teman-teman segera berpamitan kepada Bu Guru dan pulang ke rumah masing-masing. Di gerbang sekolah aku berpisah dengan Nami karena rumah kita beda arah. Ketika pulang aku lebih sering jalan kaki ketimbang dijemput oleh ayah. Lagipula jarak sekolah dengan rumahku tidak jauh.

Ketika berjalan, seseorang memanggilku, suaranya sudah tak asing lagi. Aku kemudian menoleh ke belakang. “Ohh ternyata Wira.” Kataku dalam hati.
“Ada apa Wir?” tanyaku.
“Gini, aku kan belum ngerti sama tugas matem yang di kasih Bu Mira. Kamu bantuin aku ya?” katanya.
“Oke. Mau buat di mana?” tanyaku.
“Di rumah kamu aja ya. Soalnya aku baru pindah, jadi rumahku masih belum rapi.” Katanya.
“Yaudah dehh. Maunya jam berapa?” tanyaku lagi.
“Gimana kalo jam 2 siang.” Usul Wira.
“Siip. Aku tunggu ya.” Jawabku sambil mengacungkan jempol.

Wira kemudian berjalan di sampingku. Dari samping ia sangat mirip dengan Kak Yudha. Aku menatapnya. Dadaku mulai terasa sesak, melihat sosok yang sangat mirip dengan Kak Yudha itu. Air mata tak terbendung lagi, ia menetes dengan sendirinya membasahi pipiku. Wira yang melihatku menangis, kemudian berhenti dan bertanya, “Tina, kamu kenapa? Kok nangis sihh? Kalo ada masalah, cerita aja sama aku. Siapa tahu aku bisa bantu.” Katanya sambil tersenyum. Aku ingat kata-kata itu. Kata-kata yang pernah keluar dari mulut Kak Yudha ketika aku kehilangan tanda pengenal saat MOS dulu.  “Aku kangen kamu.” bisikku. “Apa?” tanyanya yang mungkin mendengar perkataanku. “Nggak kok. Cuma inget seseorang.” Jawabku sambil menggeleng. Aku mencoba mengapus air mata ini dan berjalan dengan cepat menjauhi Wira.

YYY

Hari minggu pun tiba, jam sudah menunjukan pukul enam pagi. Aku pun segera berganti pakaian untuk  bersiap jogging  ke lapangan dekat rumahku. Biasanya setiap hari minggu aku dan Nami jogging bersama. Tapi, sayangnya ia tak bisa ikut minggu ini karena harus menjenguk neneknya yang sedang sakit. Di sebuah bangku taman yang biasanya aku duduki bersama Kak Yudha dan Nami, aku melihat seorang anak lelaki di sana. Pakaiannya hampir mirip dengan yang biasa digunakan oleh Kak Yudha ketika ia datang ke rumah untuk mengajariku. Aku tahu anak lelaki itu adalah Wira. Kemiripannya dengan Kak Yudha membuat hidupku jadi tidak tenang. Dari segi penampilan, gaya bicara, bahkan sepedanya persis sama dengan Kak Yudha.

Dengan kekesalan di hatiku, aku pun memberanikan diri untuk  menghampirinya. “Kamu itu siapa sihh? Apa mau mu?” tanyaku dengan nada tinggi.
“Hey, kamu kenapa sihh? Dateng-dateng udah marah aja. Inikan aku Wira. Wira temen kamu.” jawabnya heran.
“Apa hubungan kamu sama Kak Yudha, Yudha Perwira? Jawab!” teriakku sambil menangis.
“Oh berarti bener.” Katanya sambil tersenyum.
“Maksud kamu apa sih? Aku gak ngerti.” Kataku dengan amarah yang mulai mereda.
“Jadi gini, sebeneranya aku itu adik sepupunya Kak Yudha. Dia cerita banyak tentang kamu waktu aku liburan ke sini. Dia juga sebenernya sayang banget sama kamu. Sebenernya dia pengen ngungkapin perasaannya ke kamu. Tapi, dia nunggu waktu yang tepat. Ya, saat  ulang tahun kamu yang barengan sama hari valentine tahun lalu. Dia udah nyiapin hadiah buat kamu. Boneka kelinci putih kesukaan kamu dan bagusnya boneka itu berisi rekaman ungkapan perasaannya sama kamu. Tapi sayangnya, Tuhan menjemputnya terlalu cepat. Kita gak akan pernah tahu pasti takdir seseorang. Benar kan? ” Kata Wira.
Mendengar itu semua aku tak mampu lagi berdiri dan hanya terduduk di bangku taman. Tak terasa air mata mulai menetes dengan deras bahkan dadaku terasa sesak mengingat kebersamaanku dulu dengan Kak Yudha. Aku tak menyangka ia menyimpan sebuah rasa padaku dan sebenarnya aku juga.
“O iya, ada sesuatu yang mau aku tunjukin. Tunggu di sini ya.” Katanya. Aku hanya mengangguk.


Beberapa menit kemudian, Wira datang dengan menyembunyikan sesuatu dibalik punggungnya. “Ini buat kamu.” katanya sambil bersimpuh di depanku dan menyerahkan sebuah boneka kelinci. “Dari Kak Yudha?” tanyaku. Ia hanya mengangguk. Aku menerima boneka tersebut sambil menangis dan memeluk boneka itu dengan erat. “I love you Tina. Aku akan selalu bersamamu. I love you.” terdengar suara dari hati yang dipegang boneka kelinci itu. “I love you too, Kak.” Bisikku sambil terus menangis. Wira yang melihatku sangat terpukul, mengelus-elus punggungku. “Sabar ya, Na. Kan masih ada aku. Nanti kalo kamu ada masalah. Kamu boleh cerita sama aku. Entah kamu mau nganggep aku Wira atau Kak Yudha. Itu terserah kamu. ” kata Wira.
“Makasi.” Kataku. Wira hanya mengangguk sambil tersenyum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar