Cerpen - Valentine Tahun Lalu
Sudah
hampir setahun sejak terakhir kali aku bertemu dengan Kak Yudha anggota OSIS
idolaku. Ketika MOS dulu ia sangat baik dan juga perhatian padaku. Aku bahkan
menganggapnya sebagai kakakku sendiri. Dan ketika ulang tahunku yang 13 tahun yang
bertepatan dengan hari Valentine, ia memberikanku sebuah buku diary dimana aku
bisa mencurahkan isi hatiku ketika aku tak dapat lagi menemui Kak Yudha.Tapi tak
kusangka itu pertemuan terakhir kami. Kak Yudha mengalami kecelakaan setelah
mengantarku pulang. Saat itu aku merasa sangat terpukul mendengar kabar
kepergiannya. Aku sempat berpikir, kenapa Tuhan menjemput orang sebaik Kak
Yudha dengan begitu cepat.
Waktu
pun kian berganti, kini aku mencoba merelakan kepergian Kak Yudha. Meski kadang
aku merindukan sosoknya. Hanya dia yang mampu mengerti aku. Hingga akhirnya aku
mulai bersahabat dengan Nami. Dia anak yang pintar dan juga baik. Dia kini
duduk sebangku denganku sejak semester lalu.
YYY
Pagi
ini, kelasku kedatangan murid baru. Ia bernama Wira. Dia berbadan tinggi dengan
kulit sawo matang, dan rambut hitam yang lurus, tak lupa dengan tahi lalat di
telinga kanannya yang hampir mirip dengan Kak Yudha. Aku bahkan dibuatnya
terkejut karena fisik yang hampir sama. Tapi aku tak menganggap itu hal serius.
Dia kini duduk di belakangku.
Bel
istirahat berbunyi, aku dan Nami pergi
ke perpustakaan. Saat sedang mencari buku Wira menyapaku, “Hay.. Nyari buku
apa?”.
“Ini lagi nyari novel.” Jawabku sambil melihat-lihat kumpulan buku diperpustakaan.
“Ohh novel ya. Hmmm. Ini nih yang bagus.” katanya sambil menjulurkan sebuah buku ditangannya. Aku terkejut. Ternyata itu adalah buku yang sama yang pernah dipinjamkan Kak Yudha kepadaku. Aku mulai berpikir bahwa ini hal yang wajar. Semua orang pasti suka novel itu.
“Itu aku udah pernah baca.” Kataku sambil mencari buku yang lain. Saat sedang mencari bel tanda masuk kelas berbunyi. Jadi pencarian buku aku akhiri dan segera menuju ke kelas.
“Ini lagi nyari novel.” Jawabku sambil melihat-lihat kumpulan buku diperpustakaan.
“Ohh novel ya. Hmmm. Ini nih yang bagus.” katanya sambil menjulurkan sebuah buku ditangannya. Aku terkejut. Ternyata itu adalah buku yang sama yang pernah dipinjamkan Kak Yudha kepadaku. Aku mulai berpikir bahwa ini hal yang wajar. Semua orang pasti suka novel itu.
“Itu aku udah pernah baca.” Kataku sambil mencari buku yang lain. Saat sedang mencari bel tanda masuk kelas berbunyi. Jadi pencarian buku aku akhiri dan segera menuju ke kelas.
Ketika
bel pulang berbunyi aku dan teman-teman segera berpamitan kepada Bu Guru dan
pulang ke rumah masing-masing. Di gerbang sekolah aku berpisah dengan Nami
karena rumah kita beda arah. Ketika pulang aku lebih sering jalan kaki
ketimbang dijemput oleh ayah. Lagipula jarak sekolah dengan rumahku tidak jauh.
Ketika
berjalan, seseorang memanggilku, suaranya sudah tak asing lagi. Aku kemudian
menoleh ke belakang. “Ohh ternyata Wira.” Kataku dalam hati.
“Ada apa Wir?” tanyaku.
“Gini, aku kan belum ngerti sama tugas matem yang di kasih Bu Mira. Kamu bantuin aku ya?” katanya.
“Oke. Mau buat di mana?” tanyaku.
“Di rumah kamu aja ya. Soalnya aku baru pindah, jadi rumahku masih belum rapi.” Katanya.
“Yaudah dehh. Maunya jam berapa?” tanyaku lagi.
“Gimana kalo jam 2 siang.” Usul Wira.
“Siip. Aku tunggu ya.” Jawabku sambil mengacungkan jempol.
“Ada apa Wir?” tanyaku.
“Gini, aku kan belum ngerti sama tugas matem yang di kasih Bu Mira. Kamu bantuin aku ya?” katanya.
“Oke. Mau buat di mana?” tanyaku.
“Di rumah kamu aja ya. Soalnya aku baru pindah, jadi rumahku masih belum rapi.” Katanya.
“Yaudah dehh. Maunya jam berapa?” tanyaku lagi.
“Gimana kalo jam 2 siang.” Usul Wira.
“Siip. Aku tunggu ya.” Jawabku sambil mengacungkan jempol.
Wira
kemudian berjalan di sampingku. Dari samping ia sangat mirip dengan Kak Yudha.
Aku menatapnya. Dadaku mulai terasa sesak, melihat sosok yang sangat mirip
dengan Kak Yudha itu. Air mata tak terbendung lagi, ia menetes dengan
sendirinya membasahi pipiku. Wira yang melihatku menangis, kemudian berhenti
dan bertanya, “Tina, kamu kenapa? Kok nangis sihh? Kalo ada masalah, cerita aja
sama aku. Siapa tahu aku bisa bantu.” Katanya sambil tersenyum. Aku ingat
kata-kata itu. Kata-kata yang pernah keluar dari mulut Kak Yudha ketika aku
kehilangan tanda pengenal saat MOS dulu. “Aku kangen kamu.” bisikku. “Apa?” tanyanya
yang mungkin mendengar perkataanku. “Nggak kok. Cuma inget seseorang.” Jawabku
sambil menggeleng. Aku mencoba mengapus air mata ini dan berjalan dengan cepat
menjauhi Wira.
YYY
Hari
minggu pun tiba, jam sudah menunjukan pukul enam pagi. Aku pun segera berganti
pakaian untuk bersiap jogging ke lapangan dekat rumahku. Biasanya setiap
hari minggu aku dan Nami jogging bersama.
Tapi, sayangnya ia tak bisa ikut minggu ini karena harus menjenguk neneknya
yang sedang sakit. Di sebuah bangku taman yang biasanya aku duduki bersama Kak
Yudha dan Nami, aku melihat seorang anak lelaki di sana. Pakaiannya hampir
mirip dengan yang biasa digunakan oleh Kak Yudha ketika ia datang ke rumah
untuk mengajariku. Aku tahu anak lelaki itu adalah Wira. Kemiripannya dengan
Kak Yudha membuat hidupku jadi tidak tenang. Dari segi penampilan, gaya bicara,
bahkan sepedanya persis sama dengan Kak Yudha.
Dengan
kekesalan di hatiku, aku pun memberanikan diri untuk menghampirinya. “Kamu itu siapa sihh? Apa mau
mu?” tanyaku dengan nada tinggi.
“Hey, kamu kenapa sihh? Dateng-dateng udah marah aja. Inikan aku Wira. Wira temen kamu.” jawabnya heran.
“Apa hubungan kamu sama Kak Yudha, Yudha Perwira? Jawab!” teriakku sambil menangis.
“Oh berarti bener.” Katanya sambil tersenyum.
“Maksud kamu apa sih? Aku gak ngerti.” Kataku dengan amarah yang mulai mereda.
“Jadi gini, sebeneranya aku itu adik sepupunya Kak Yudha. Dia cerita banyak tentang kamu waktu aku liburan ke sini. Dia juga sebenernya sayang banget sama kamu. Sebenernya dia pengen ngungkapin perasaannya ke kamu. Tapi, dia nunggu waktu yang tepat. Ya, saat ulang tahun kamu yang barengan sama hari valentine tahun lalu. Dia udah nyiapin hadiah buat kamu. Boneka kelinci putih kesukaan kamu dan bagusnya boneka itu berisi rekaman ungkapan perasaannya sama kamu. Tapi sayangnya, Tuhan menjemputnya terlalu cepat. Kita gak akan pernah tahu pasti takdir seseorang. Benar kan? ” Kata Wira.
Mendengar itu semua aku tak mampu lagi berdiri dan hanya terduduk di bangku taman. Tak terasa air mata mulai menetes dengan deras bahkan dadaku terasa sesak mengingat kebersamaanku dulu dengan Kak Yudha. Aku tak menyangka ia menyimpan sebuah rasa padaku dan sebenarnya aku juga.
“O iya, ada sesuatu yang mau aku tunjukin. Tunggu di sini ya.” Katanya. Aku hanya mengangguk.
“Hey, kamu kenapa sihh? Dateng-dateng udah marah aja. Inikan aku Wira. Wira temen kamu.” jawabnya heran.
“Apa hubungan kamu sama Kak Yudha, Yudha Perwira? Jawab!” teriakku sambil menangis.
“Oh berarti bener.” Katanya sambil tersenyum.
“Maksud kamu apa sih? Aku gak ngerti.” Kataku dengan amarah yang mulai mereda.
“Jadi gini, sebeneranya aku itu adik sepupunya Kak Yudha. Dia cerita banyak tentang kamu waktu aku liburan ke sini. Dia juga sebenernya sayang banget sama kamu. Sebenernya dia pengen ngungkapin perasaannya ke kamu. Tapi, dia nunggu waktu yang tepat. Ya, saat ulang tahun kamu yang barengan sama hari valentine tahun lalu. Dia udah nyiapin hadiah buat kamu. Boneka kelinci putih kesukaan kamu dan bagusnya boneka itu berisi rekaman ungkapan perasaannya sama kamu. Tapi sayangnya, Tuhan menjemputnya terlalu cepat. Kita gak akan pernah tahu pasti takdir seseorang. Benar kan? ” Kata Wira.
Mendengar itu semua aku tak mampu lagi berdiri dan hanya terduduk di bangku taman. Tak terasa air mata mulai menetes dengan deras bahkan dadaku terasa sesak mengingat kebersamaanku dulu dengan Kak Yudha. Aku tak menyangka ia menyimpan sebuah rasa padaku dan sebenarnya aku juga.
“O iya, ada sesuatu yang mau aku tunjukin. Tunggu di sini ya.” Katanya. Aku hanya mengangguk.
Beberapa
menit kemudian, Wira datang dengan menyembunyikan sesuatu dibalik punggungnya.
“Ini buat kamu.” katanya sambil bersimpuh di depanku dan menyerahkan sebuah
boneka kelinci. “Dari Kak Yudha?” tanyaku. Ia hanya mengangguk. Aku menerima
boneka tersebut sambil menangis dan memeluk boneka itu dengan erat. “I love you Tina. Aku akan selalu bersamamu.
I love you.” terdengar suara dari hati yang dipegang boneka kelinci itu. “I
love you too, Kak.” Bisikku sambil terus menangis. Wira yang melihatku sangat
terpukul, mengelus-elus punggungku. “Sabar ya, Na. Kan masih ada aku. Nanti
kalo kamu ada masalah. Kamu boleh cerita sama aku. Entah kamu mau nganggep aku
Wira atau Kak Yudha. Itu terserah kamu. ” kata Wira.
“Makasi.” Kataku. Wira hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Makasi.” Kataku. Wira hanya mengangguk sambil tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar